Catatan Hakim di Tengah Bencana: Menemukan Kemanusiaan di Aceh Tamiang


Opsiberita.com
-  Tak ada yang menyangka, Rabu, 26 November 2025 akan menjadi hari terakhir aparatur Pengadilan Negeri (PN) Kuala Simpang, Aceh Tamiang, beraktivitas seperti biasa.

Hujan yang turun tanpa henti sejak Sabtu, 22 November 2025, menyebabkan sejumlah wilayah di Kuala Simpang tergenang air. Kondisi tersebut membuat beberapa aparatur PN Kuala Simpang tak dapat masuk kerja. Listrik padam, pelayanan terganggu, dan sejumlah persidangan pun terpaksa ditunda.

Mengingat sejarah banjir bandang yang pernah melanda Kuala Simpang pada 2022, Wakil Ketua PN Kuala Simpang Diana Febrina Lubis, bersama Hakim Frans Martin Sihotang dan Qisthi Widyastuti Hakim, mengajukan izin kepada pimpinan untuk kembali ke Medan.

Kekhawatiran itu bukan tanpa dasar. Sehari sebelumnya, Kota Langsa telah lebih dulu terendam banjir. Rencananya, jika situasi kembali aman, mereka akan kembali ke Kuala Simpang pada Kamis pagi.

Namun, Wakil Ketua yang semula hendak berangkat terpaksa mengurungkan niatnya karena jadwal sidang. Proses perizinan yang panjang pun berakhir pada keputusan bertahan.

Sekitar pukul 14.00 WIB, hanya Hakim Frans Martin Sihotang dan Hakim Qisthi Widyastuti yang menggunakan cuti dan berangkat menuju Medan.

Di perjalanan, tepatnya di Alur Gantung, sekitar 12 km dari PN Kuala Simpang, mereka dihadang longsor besar. Hakim Qisthi memilih memutar balik ke kantor PN, sementara Hakim Frans sempat menunggu sebelum akhirnya mencari tempat aman.

Malam harinya, sekitar pukul 21.00 WIB, listrik padam total. Kantor PN Kuala Simpang mulai didatangi warga dari Kampung Dalam yang mengungsi. Saat itu, air belum tampak menggenangi kantor PN maupun rumah dinas hakim di Tanjung Karang.

Tempat itu dinilai relatif aman—tempat menuju istirahat. Namun penilaian itu keliru.

Menjelang Kamis, 27 November 2025 dini hari, air mulai membanjiri kantor PN hingga mencapai dada orang dewasa. Di rumah dinas hakim, kondisi lebih dramatis—air naik secara cepat dan tiba-tiba sekitar pukul 05.30 WIB.

Hakim Qisthi yang menginap di rumah dinas Wakil Ketua bersama dua pegawai, Yuliana dan Suryani, segera bergegas. Mereka mengambil pakaian seadanya dan berjalan kaki menuju kantor PN.

Di tengah jalan, warga memperingatkan bahwa arus air di depan kantor PN telah mencapai leher orang dewasa. Evakuasi ke sana mustahil.

Tak ada jaringan komunikasi. Tak ada kepastian arah. Tak ada tempat berlindung. Mereka seperti terombang-ambing—tersesat di kampung sendiri.

Di tengah kebingungan, seorang pegawai PN mengajak mereka menuju Masjid Raya. Namun debit air yang terus naik memaksa rombongan beralih ke kantor BSI KCP Kuala Simpang, satu-satunya tempat yang masih bisa diakses dengan air setinggi pinggang.

Di kantor BSI, mereka mengungsi di lantai 2, tepatnya di ruang server berukuran sekitar 2 x 1,5 meter, dalam kondisi gelap gulita. Sekitar 40 pengungsi lain, mayoritas perempuan dan anak-anak, menempati ruang staf.

Syukurnya, masih tersedia air bersih. Tubuh bisa dibasuh. Pakaian bisa diganti.Namun malam-malam berikutnya begitu panjang.

Suara deras air, rasa lapar, haus, gelap, dan ketakutan menjadi teman setia. Mereka hanya diberi air mineral dan empat cup mi instan.

Karena debit air terus naik hingga hampir mencapai lantai dua, mereka bersiap pada kemungkinan terburuk. Demi bertahan hidup, satu cup mi instan dibagi untuk empat orang. Hanya sekali makan per hari, selama dua hari penuh.

Hari ketiga, air perlahan surut. Para pengungsi yang kelaparan terpaksa mencari makanan dengan mengambil barang dari toko dan minimarket sekitar—sebuah pilihan pahit yang dilakukan demi bertahan hidup.

Pada Sabtu, 29 November 2025, air di sekitar kantor BSI mulai surut. Mereka memutuskan berjalan kaki menuju PN Kuala Simpang. Lagi-lagi, warga memperingatkan derasnya arus air yang membawa material bangunan—seng, kaca, kayu—yang berpotensi mematikan.

Mereka memilih berteduh di lantai 2 Rumah Makan Ayam Penyet Djogja, sekitar 600 meter dari kantor PN. Setelah menunggu sekitar tiga jam, mereka akhirnya nekat mengarungi arus banjir setinggi paha—demi menghindari malam hari.

Semua rasa lelah tak lagi berarti. Yang tersisa hanya rindu untuk berkumpul kembali dengan keluarga PN Kuala Simpang.

Sesampainya di kantor, lantai dua sudah dipenuhi warga yang mengungsi di koridor. Delapan aparatur PN lainnya bertahan di dalam ruangan.

Untuk pertama kalinya setelah terjebak banjir bandang, mereka merasa aman—karena telah kembali ke “rumah”.

Namun rasa aman saja tak cukup. Kebutuhan dasar—makan dan minum—menjadi persoalan besar.

Minggu pagi, 30 November 2025, setelah banjir benar-benar surut, 12 aparatur PN turun mencari logistik ke rumah dinas. Kondisinya lebih parah: lumpur setinggi 30 cm menutup pintu rumah.

Minggu siang, seorang pegawai bernama Faisal MY membawa mereka ke rumahnya di Paya Bedi, daerah dataran tinggi yang aman dari banjir. Dengan sepeda motor, mereka dilangsir empat kali perjalanan.

Senin siang, 1 Desember 2025, kabar baik datang: ada akses ke Sumatera Utara melalui kapal kayu menuju Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat.

Perjalanan menuju sungai di Salahaji, Kecamatan Pematang Jaya, ditempuh sekitar 1,5 jam menggunakan truk dan sepeda motor. Lalu dua jam berlayar dengan kapal kayu.

Malam itu—doa akhirnya terkabul. Mereka kembali bertemu keluarga tercinta.

Bencana meninggalkan trauma yang tak mudah dihapus. Dalam lima hari tanpa listrik, jaringan komunikasi, dan air bersih, mereka kehilangan hampir segalanya—kecuali nyawa.

Namun dari bencana itu, lahir pelajaran yang tak ternilai: tentang saling mengasihi, berbagi, melindungi, dan mengayomi, tanpa memandang jabatan, suku, agama, atau golongan. Terima kasih atas pelajaran hidup yang luar biasa, Aceh Tamiang.

Lebih baru Lebih lama

Iklan

Formulir Kontak